Rakya Maori di New Zealand untuk mendukung perjuangan Rakyat Papua Barat

Sebuah aksi intervensi masyarakat Maori di New Zealand untuk mendukung perjuangan Rakyat Papua Barat dilakukan ditengah Festival Pasifika di Auckland..

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

29 Juli 2013

Pendekatan Dialog Melembagakan HAM DI ASEAN

The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) mungkin telah memasuki tahun keempat, tetapi keberhasilannya sebagai badan HAM regional dapat diperdebatkan, karena kegiatan rumah tangga dan kurangnya mandat perlindungan.

AICHR melakukan upaya untuk mengatur norma-norma hak asasi manusia di wilayah tersebut melalui Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN pada tahun 2012. Namun, sementara isi dari deklarasi menerima berbagai tanggapan, seseorang harus tahu bahwa menyimpulkan deklarasi dalam waktu yang relatif singkat - tiga tahun - itu bukan tugas yang mudah, mengingat keanekaragaman ASEAN sebagai suatu wilayah. Namun, bahkan ini tidak bisa berhenti AICHR dari datang di bawah api.

AICHR baru-baru ini terlibat dalam berbagai kegiatan yang fokus pada keadaan hak asasi manusia di negara anggota tertentu. Pada tanggal 25 Juni 2013, dialog HAM antara pemerintah Indonesia dan AICHR diadakan di Sekretariat ASEAN di Jakarta. Dialog ini berfokus pada isu-isu hak asasi manusia di Indonesia dan pemerintah akan menggunakan hasil dari dialog untuk meningkatkan promosi hak asasi manusia.

Ayat 4.10 pada Terms of Reference mandat AICHR komisi untuk mendapatkan informasi dari negara-negara anggota pada promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Dialog AICHR dengan pemerintah Indonesia, oleh karena itu, sejalan dengan semangat ketentuan ini. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa dialog ini dilakukan secara sukarela oleh pemerintah Indonesia.

Sementara AICHR telah dikritik karena eksklusivitas, kegiatan semacam ini telah terbukti sebaliknya. AICHR mampu membahas situasi HAM di negara anggota tertentu secara terbuka.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah AICHR harus mengadakan dialog dengan negara anggota individu secara teratur. Dengan keterbatasan mandatnya, AICHR harus mempertimbangkan dialog biasa. Mengingat universalitas hak asasi manusia, tantangan yang tidak dapat dihindari, termasuk negara-negara anggota ASEAN. Oleh karena itu, AICHR sebagai badan HAM regional harus memainkan peran dalam membantu negara-negara anggota untuk meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di negara masing-masing.

Ada beberapa pertimbangan untuk mendukung kegiatan semacam ini. Pertama, dengan melakukan dialog dengan negara anggota, AICHR dapat mengidentifikasi tantangan hak asasi manusia di tanah, yang akan memberikan informasi yang berharga bagi AICHR untuk mengatur strategi dalam memajukan dan menegakkan hak asasi manusia di wilayah tersebut.

Kedua, dialog membuktikan AICHR mengimplementasikan perannya sebagai badan konsultatif, yang memungkinkan AICHR untuk berbagi pandangan kepada negara-negara anggota. Karena dialog ini bukan pengadilan, tidak akan ada penghakiman, dan hasil dari kegiatan ini dapat menjadi pelajaran-belajar, asalkan AICHR akan memberikan masukan atau pengamatan isu-isu tertentu.

Ketiga, dialog akan mempercepat proses pembangunan kepercayaan di antara negara-negara anggota untuk berbagi praktek-praktek nasional mereka dan pengalaman: dengan tujuan umum untuk meningkatkan promosi dan perlindungan hak asasi manusia di wilayah tersebut.

Sebagai Komunitas ASEAN meningkatkan link antara negara-negara anggota, dialog hak asasi manusia dengan negara anggota akan meningkatkan situasi hak asasi manusia regional.

Terakhir, dialog ini sepenuhnya sesuai dengan tujuan dan prinsip ASEAN ditetapkan dalam Piagam ASEAN. Sementara dialog ini akan mendukung realisasi promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagai salah satu tujuan ASEAN, dialog ini juga sesuai dengan prinsip non-interferensi karena dialog ini dilakukan berdasarkan pada negara secara sukarela.

Tentu saja dialog ini tidak akan menyelesaikan semua tantangan hak asasi manusia sekaligus, setidaknya pelembagaan kegiatan ini akan membantu AICHR untuk meningkatkan perannya di kawasan itu, dan memberikan suatu mekanisme tambahan untuk negara-negara anggota untuk menyalurkan diri untuk AICHR sebagai badan HAM ASEAN .

Setelah dialog HAM dengan pemerintah Indonesia, banyak kegiatan yang diharapkan untuk mengikuti. Terserah AICHR untuk mengambil kesempatan ini untuk menjadi badan lebih efektif dalam memberikan mandatnya. Sebagai badan HAM regional dengan tanggung jawab untuk promosi dan perlindungan hak-hak lebih dari 500 juta orang di ASEAN, harapan AICHR tidak akan pernah padam.

Dialog HAM yang diselenggarakan minggu lalu hanya satu aspek tantangan AICHR, sebagai kemajuan realisasi Komunitas ASEAN 2015 berlangsung, rakyat ASEAN perlu AICHR kuat dan lebih efektif untuk mengatasi tantangan.

Adalah penting bahwa AICHR berkembang agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai pepatah Latin yang terkenal berbunyi: "suara rakyat adalah suara Tuhan", tapi ketika AICHR mengakomodasi suara orang, hanya waktu yang akan memberitahu.

Penulis kepala bagian hak asasi manusia di Direktorat Keamanan ASEAN Kerjasama Politik dan Kementerian Luar Negeri. Pandangan yang dikemukakan adalah sendiri.
Published: The Jakarta Post

26 Juli 2013

British government concerned about situation in West Papua


Lord Harries opened the session
Lord Harries opened the session


The British government was questioned in the House of Lords last night about the ongoing crisis in West Papua. Baroness Warsi, speaking for the British government recognised that “the events surrounding the 1969 Act of free Choice continue to be a controversy”, whilst Lord Avebury suggested that Indonesian President SBY “should be invited to the UK in September 2014 ( for the referendum on self- determination in Scotland) so that he can see how we deal with demands for self-determination in this country”. Baroness Warsi said in her closing statement that “We all agree that the situation in Papua is of concern”.

The full transcript of the session can be accessed through a link at the end of this report.

Report

Lord Harries of Pentregarth, former Bishop of Oxford opened the session by stating, “My Lords, violations of basic human rights in West Papua are not only continuing but becoming more frequent. In 2012-13 there were numerous incidents of West Papuans being shot, arrested and tortured simply for taking part in peaceful demonstrations. 

Leaders of the West Papua National Committee—the KNPB—are particularly targeted. To give just one example, at a peaceful demonstration on 1 May this year, three Papuans were shot—killings which were rightly condemned by both the UN High Commissioner for Human Rights, Navi Pillay, and Amnesty International. A list of 30 such incidents involving arrests for peaceful protests in just two weeks in April and May this year was sent to the OHCHR in Geneva by TAPOL on behalf of eight international organisations concerned with West Papua.”

He continued, “The truth cannot be hidden forever. The 1962 New York agreement signed between the Netherlands, Indonesia and the United Nations guaranteed an “act of self-determination” for the people of West Papua. In 1969 that so-called Act of Free Choice took place.” Lord Harries then quoted Baroness, Lady Symons of Vernham Dean, who on behalf of the British government admitted on December 13th 2004 that, “there were 1,000 handpicked representatives and that they were largely coerced into declaring for inclusion in Indonesia”.

Lord Harries further continued, “Given that the former UN Under-Secretary-General, Chakravarthi Narasimhan, admitted publicly in 2004 that the 1969 so-called Act of Free Choice was in effect a sham, will the Government join with International Parliamentarians for West Papua and International Lawyers for West Papua in asking the UN to conduct an inquiry into what happened in 1969 and then to instigate a referendum on the issue in West Papua itself?

Lord Harries added, “Given the 2010/11 referendum on self-determination in South Sudan and the upcoming referendums on independence in New Caledonia—Kanaky, Bougainville and Scotland, and bearing in mind what happened in East Timor, would it not be prudent, as well as absolutely right, to press for a true, internationally monitored referendum? This issue is certainly not going to go away, however much the Indonesian Government might wish that it would.”

25 Juli 2013

Pacific Freedom kutuk penyitaan media Papua

Kepolisian Papua dilaporkan mengambil enam salinan majalah baru Pelita Papua dari kantor publikasi untuk diperiksa

Sampul edisi pertama majalah itu menggambarkan symbol Gerakan Papua Merdeka yang dilarang di Papua.
Kepolisian mengklaim  tindakan mereka bukan sebuah upaya untuk melarang penerbitan media itu.

Ketua Forum Pacific Freedom, Titi Gabi, kepada Radio Australia mengatakan, organisasinya mendukung kritik Dewan Pers Indonesia untuk memprotes aksi Kepolisian.

“Sikap kami bersama kolega di Indonesia yang mengutuk hal tersebut,” ujarnya.

Forum Pacific Freedom juga menyerukan agar Pemerintah Indonesia memfasilitasi keberatan mereka dan mendukung kebebasan berekspresi.

11 Juli 2013

Papua Juga Punya HAK Sama Deklarasi HAM PBB 10 Desember

Lembaga-lembaga dan negara yang mendukung hak asasi manusia harus bertindak jujur, terhormat dan efektif dilaksanakan  sesuai Deklarasi HAM secara Universal.

Deklarasi Hak Asasi Manusia dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 setelah Perang Dunia II berakhir dan bergabungnya beberapa negara di Asia dan Afrika ke dalam PBB, adalah  alasan utama dari pencetusan Duham PBB ini  untuk mencegah terjadinya Perang Dunia kembali.

10 Desember sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. selalu memperingati atas penandatanganan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, yang mewakili reaksi masyarakat internasional terhadap kengerian Perang Dunia Kedua. tanggal itu sebagai hari untuk refleksi dan lebih dari perayaan. Scan sepintas acara dari beberapa negara dunia telah melontarkan contoh yang menunjukkan bahwa kepercayaan HAM untuk semua - dalam memperlakukan semua negara sama.

Pasal demi pasal secara rinci telah mengatur dan indonesia juga menanda tanganinya ini.
  • Pasal 1 : Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
  • Pasal 2 : Perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dll tidak menjadi pengecualian hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini.
  • Pasal 3 : Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu.
  • Pasal 4 : Tidak ada orang yang boleh diperbudak atau diperhambakan.
  • Pasal 5 : Tidak ada yang boleh disiksa secara kejam, dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.
  • Pasal 7 : Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi
  • Pasal 9 : Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengang sewenang-wenang
  • Pasal 10 : Setiap orang berhak atas peradilan yang adil yang bebas dan tidak memihak
  • Pasal 14 : Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi pengejaran
    Pasal 18 : Setiap orang berhak untuk memiliki kebebasan dalam beragama
    Pasal 19 : Setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapatPasal 20 : Setiap orang memiliki hak dan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul tanpa kekerasan.

Deklarasi Universal adalah pengakuan bijaksana yang menyatakan berkewajiban negara untuk memastikan perlindungan hak-hak mendasar rakyatnya yang menjamin kebebasan dan martabat individu manusia dan kelompok.

Mungkin yang lebih penting, itu merupakan kesadaran bahwa masyarakat internasional berkewajiban untuk membantu dalam perlindungan hak-hak tersebut.

Masalah di sini bukan apakah indonesia melakukan Pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan, melainkan bahwa kasus papau adalah dua Pihak bangsa  dengan status yang tak terselesaikan jadi akar konflik.

Ini demi perdamaian permenen dan kelangsungan hidup warga papua termasuk juga nusantara NKRI. Indonesia memastikan untuk penerapan deklarasi HAM yang di tanda tangganinya.

fakta di indonesia secara tidak langsung pengabaian HAK manusia papua adalah sebagai bentuk merendahkan rakyat papua barat sebagai warga kelas dua demi atas nama pembangunan nasional.

Kekerasan terbaru di papua tahun 2011-2013 ini meningkat sangat dratis, Label separatisme dan makar menjadi legal dan legitimasi diri para aparat TNI dan polri untuk membantai orang papua. Padahal tuntutan dan permintaan sudah jelas, Hak politik dan luka lama atas kekejaman masa lalu terus tumbuh dalam indeologi nasionalisme orang papua, sehingga selama 50 tahun negara gagal mengindonesiakan rakyat papua sebagai warga indonesia.

Masalah papua sering menjadi sorotan internsional, sepekan yang lalu SBY berpidato depan PM Australia Kelvin Rudd, bahwa masalah papua hanya segaja  besar-besarkan, dan sebaliknya PM AU memuji SBY atas kasus papua dan mendukung keutuhan wilayah NKRI atas papua barat.

Sebenarnya yang terpenting bukanlah masalah keutuhan wilayah dan di besar-besarkan masalah, persoalan riilnya adalah atas perbedaan ideologi dan pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan pemerintah atau  lembaga indenpenden atas semua tunduhan pelanggaran HAM di papua barat.

Jika hak setiap manusia itu di pahami baik maka, lebih penting keutuhan manusia ketimbang keutuhan wilayah yang selalu iringkan oleh kepemimpinan SBY selama ini. Aparat TNI/Polri di papua membunuh, menembak dan membantai orang papua hanya dengan alasan keutuhan wilayah teritorial NKRI, padahal orang-orang yang dibantai adalah manusia yang punya HAK yang sama seperti bangsa lain di dunia.

Penulis By Turius Wenda
More on this category »