Rakya Maori di New Zealand untuk mendukung perjuangan Rakyat Papua Barat

Sebuah aksi intervensi masyarakat Maori di New Zealand untuk mendukung perjuangan Rakyat Papua Barat dilakukan ditengah Festival Pasifika di Auckland..

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

11 November 2014

Visi dan Misi Gubernur Papua di Jebakan Oleh kabinet Kerjanya

Setelah beberapa bulan terlantiknya Gubernur papua kaka Lukas Enembe, Semua visi dan misi menyangkut papaua bangkit dan mandiri telah di belenggukan oleh kebinet kerja atau bahawan yang d Dia angkata.

Setelah melewati bebera bulan terrahkir saya telah mengamati bahwa misi mulia giubernur telah di atur dan di hancurkan oleh orang-orang yang dia angkat.
"Musuh dalam selimut adalah musuh yang sangat berbahaya, saya sebagai orang gunung merasa bahwa apa yang dikakukan Gubenrur lewat semua SKPD bahkan badan yang dianggkat Gubernur adalah tidak cocock dan tidak menyesuaikan dengan kondisi real dan misi mulia Gubernur.


Misi mulai demi Protection (keberpihan) terhadap orang papua terlah sirna, bapa Gubenrur sebagai anak koteka yang tahu atas kehidupan rakyat papua itu mestinya dihargai dan dijaga tujuan mulianya namun apalah artinya jika Dia (Gubernur) diatur oleh para konglomeratnya.

Janganlah bermimpi untuk membangun bangsa ini, karena bangsa ini akan maju dan merobah suatu peradaban pasti ada pada anak asli papua, Isack telah membuktikan Hal ini, dan Peramalan seorang Gembala umat adalah benar adanya.
Aretinya membangun peradaban bansa ini bukan dalam naungan NKRI tapi tujuan sesungguhnya dalah kemandirian dan keberadaan status papua bahwa Papua berdiri sejajar dengan bangsa lain didunia.

Misi mulia ini tidak akan pernah terwujud, apa alasannya, jika sepanajng kami dalam NKRI, janganlah anda bermimpi kami akan berhasil dan membawa keluar rakyat papua dalam belenggu ketidakadilan dan pelanggaran HAM


Penulis: Turius wenda - pengantar tidur malam.
 

Papua Butuh Formula Terbaik diantara Dialog, Referendum dan Merdeka

by,Turius wenda

Berbagai solusi yang menerapkan di papua barat

Turius Wenda
Papua masa ke masa sama saja, konflik berkepanjangan tidak kunjung usai, berbagai solusi telah berlaku di papua barat selama setegah abad (49th), anehnya perundingan ke perundingan masalah papua tidak pernah melibatkan orang papua yang nota bene sebagai pemilik dan akhli waris bangsa papua

Apa saja yang menjadi solusi dan formula terbaik ,yang pernah berlaku dan akan berlaku bagi bangsa papua, demi perdamaian dan kelangsungan bangsa papua barat, ini sedikit uraian yang pernah tawarkan bagi rakyat papua, tapi bagimana penerapan dan hasil dari formula itu sendiri:

  Solusi Papua yang di gagas belanda

 Antara pada tahun 1949-1969, ketika seluruh jajahan Hindia Belanda menjadikan Negara merdeka sepenuhnya seperti Indonesia, namun Belanda mempertahankan kedaulatan Belanda atas West New Guinea, dan mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan kemerdekaan sebagai negara
terpisah.

19 Oktober 2014

Dua Wartawan Prancis Masih Ditahan Dipapua, Tekanan Berdatangan

Sudah dua bulan, Dua wartawan Perancis ditahan  di Papua karena melakukan peliputan hanya dengan visa turis. Mengapa akses wartawan ke Papua masih dipersulit? Ada apa dibalik ini?

Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, yang sedang mempersiapkan reportase untuk stasiun siaran Perancis-Jerman ARTE, ditahan awal Agustus lalu di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Mereka disebut-sebut mewawancarai anggota gerakan separatis, tanpa visa khusus dan akreditasi untuk melakukan reportase.

Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Maruli Hutagalung menerangkan awal minggu ini, berkas mereka masih diperiksa. Kejaksaan punya waktu satu minggu untuk memutuskan apakah kasus itu akan diajukan ke pengadilan.
Tuduhan yang akan diajukan adalah pelanggaran keimigrasian. Selain itu, keduanya dituduh membantu gerakan separatis melakukan makar.

Jika kedua wartawan itu diajukan ke pengadilan, ini akan menjadi proses pengadilan yang pertama di Papua terhadap wartawan asing yang dituduh melakukan peliputan tanpa ijin.

Biasanya, wartawan asing yang ditahan atas kasus pelanggaran keimigrasian diusir ke luar Indonesia tanpa proses pengadilan.

Minta bantuan

Ibu Valentine, Martine Bourrat, sudah datang khusus dari Perancis untuk minta bantuan agar putrinya dilepaskan dari tahanan. Tapi permohonan itu ditolak.

Lembaga pers nasional seperti Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak pemerintah agar mencabut tuduhan bahwa kedua jurnalis terlibat gerakan separatis dan memulangkan mereka ke negaranya.

Eko Maryadi dari AJI menyatakan, penahanan kedua wartawan itu tidak sejalan dengan iklim kebebasan pers yang ingin ditegakkan di Indonesia. Juga dipertanyakan, mengapa Papua tetap menjadi semacam "kawasan terlarang" untuk diliput media.

Memperlakukan Papua berbeda dari kawasan-kawasan lain di Indonesia, "hanya memberi kesan bahwa memang ada sesuatu yang salah, yang ingin ditutup-tutupi oleh pemerintah", ujarnya.

Hari Senin (13/10), aksi yang digelar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Jayapura dibubarkan paksa oleh polisi, dengan alasan aksi itu tidak mendapat izin dari Polda Papua. Polisi menyita sejumlah spanduk dan pamflet yang mendukung pembebasan Thomas Dandois dan Valentine Bourrat.

Aparat Kepolisian Resor Kota Jayapura berhasil menangkap  17 anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) saat menggelar unjuk rasa pembebasan dua jurnalis asing dari Arte TV Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bouratt yang ditahan pihak Imigrasi Jayapura.

ekretaris KNPB Ones Suhuniap dalam rilisnya mengatakan, kepolisian setempat sengaja tak menerbitkan surat izin aksi demo yang akan dilakukan KNPB dengan alasan yang mengada-ada demi membungkam ruang demokrasi di Papua Barat.

"Dalam surat pemberitahuan Polda kepada kami, polisi menyebutkan bahwa kami tak terdaftar pada Badan Kesbangpol Provinsi Papua, selaku pembina organisasi masyarakat di lingkungan Provinsi Papua. Mereka juga melarang aksi ini karena kami selalu dituding melakukan aksi yang menyuarakan aspirasi Papua Merdeka," ujar Ones.

Tekanan Pembebasan dua jurnalis Prancis

Australia juga meminta kedua jurnalis Prancis dibebaskan. Senat Australia mengajukan mosi yang menyerukan kepada Pemerintah Indonesia agar memberikan akses lebih terbuka ke Papua Barat.  
Harian Australia, The Age, edisi Kamis, 2 Oktober 2014 melansir, mosi itu terkait dengan kekhawatiran mereka terhadap dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, yang ditangkap di Papua. 

Mosi itu secara terbuka bahkan didukung oleh kantor Menteri Luar Negeri Julie Bishop. Senat Australia menyebut kebebasan pers di Papua Barat benar-benar dibatasi. Anggota Senat dari Partai Hijau, Richard Di Natale, yang mengajukan mosi tersebut. 
Dia menyebut Bishop telah menghubungi dia pada Rabu dan mengatakan Pemerintah Australia akan mendukung mosi tersebut dengan perubahan teknis. 

LSM Juga Tuntut Pembebasan 2 Jurnalis Asing

Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Indri D. Saptaningrum menuntut pemerintah membuka akses bantuan sosial untuk masuk ke Papua. Indri melihat selama ini pemerintah menutup Papua dari dunia luar.Selain bantuan asing, kata Indri, pemerintah juga mempersulit akses wartawan dan peneliti. 

"Padahal, dengan membuka akses masuk ke Papua, masyarakat bisa berbaur sehingga lebih terbuka," ucapnya."Pemerintah lebih baik jika membuka ruang dialog dengan masyarakat Papua seperti yang pernah dijanjikan," kata dia.
Bahkan AJI Jayapura, KontraS, HRW telah menminta untuk dua jurnalis asing harus di bebaskan tanpa nyarat."tw"





25 September 2014

10 tahun SBY Akan Tercatat DI Nisan Kuburan Kematian Demokrasi Indonesia

Bubar dan pupus sudah harapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) berjalan dengan demokratis dengan melibatkan rakyat secara langsung. Ingar bingar pilkada dan munculnya sosok-sosok baru kepemimpinan daerah dinihilkan dengan munculnya Undang-undang Pilkada melalui mekanisme DPRD yang disahkan DPR dalam rapat paripurna pagi dini hari tadi di Jakarta.

Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi melihat skenario kemenangan kubu pendukung pilkada langsung menjadi berantakan karena ulah fraksi demokrat yang walk out. Fraksi Demokrat berkilah, usulan sepuluh poin perbaikan pilkada langsung tidak diakomodasi di rapat paripurna sehingga pihaknya memilih keluar meninggalkan rapat paripurna.

17 Juli 2014

This Traffic Jam Was Stuck In Belgium Forest For Over 70 Years

The branches and vines of surrounding foliage had grown down into the cars, twisting around the rusted, broken down metal. The cars left here resembled skeletons of the shinny toys they once were.
The eerie part is that the cars appeared to have been left behind in a hurry. The cars sat for so long, nature took over, causing moss to grow like a new style paint job from doors and bumpers.

As creepy as The Chatillon Car Graveyard appeared, the true story behind the car cemetery’s origin makes it all the more intriguing. In fact, the real story behind these abandoned cars remain a complete mystery.


That’s not to say there are not stories that tell of the car graveyards earliest days. One legend claims that the sea of rusted, dented, and bashed up automobiles once belonged to US Soldiers.

Prabowo: KPU Tidak jujur, Saya Siap Komando 100 Ribu pendukung Untuk Menduduki KPU

"Kalau KPU tidak jujur, maka saya akan melaporkan ke Bawaslu dan MK. Kalau masih tidak jujur juga, saya siap memberi komando 100 ribu pendukung saya untuk menduduki KPU," kata Prabowo saat bertemu LPOI di Jakarta, Kamis (17/7).

Prabowo Subianto

Jakarta, -- Calon Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan menerima apapun hasil penghitungan suara Pilpres 2014 yang dilakukan KPU. Namun, hal itu dengan syarat, yakni jujur dan adil.

"Kalau KPU tidak jujur, maka saya akan melaporkan ke Bawaslu dan MK. Kalau masih tidak jujur juga, saya siap memberi komando 100 ribu pendukung saya untuk menduduki KPU," kata Prabowo saat bertemu LPOI di Jakarta, Kamis (17/7). 

Prabowo sendiri mengendus dugaan kecurangan yang terjadi di Jawa Timur. 

16 Juli 2014

Surat Perpisahan dari Che Guevara Kepada Fidel Castro (1965)

Fidel Kastro and Che Guevara di Kuba dalam revolusi kuba
Surat ini dibacakan oleh Fidel Castro pada tanggal 3 oktober 1965, pada rapat terbuka yang mengumumkan Komite Sentral Partai Komunis Kuba yang baru terbentuk dengan dihadiri oleh istri Guevara dan anak-anaknya, Castro menyatakan:  
"Saya hendak bacakan sebuah surat, yang ditulis tangan dan kemudian diketik, dari kawan Ernesto Guevara, yakni penjelasan diri ....Tertulis demikian: 'havana' --tanpa tanggal, surat yang musti dibacakan pada kesempatan yang amat baik, namun sesungguhnya dibuat pada tanggal 1 April tahun ini."

14 Juli 2014

Orwell akan mengenali logika postkolonialisme bermain di Papua Barat

Theguardian.com,

Dalam banyak hal, perjuangan Papua Barat adalah kisah masyarakat adat di seluruh dunia: eksploitasi

"Hanya sedikit orang yang tahu bahwa George Orwell, yang lebih dikenal sebagai penulis novel dystopian 1984, adalah salah satu pendiri awal studi postkolonial. Kontribusi Orwell terbaik dikenal ke lapangan adalah hari Burma, tetapi kontribusinya yang paling awal adalah Bagaimana Bangsa Apakah Exploited - The British Empire di Burma. Diterbitkan dalam jurnal Perancis Le Progres civique, Orwell menggambarkan bagaimana lahan, tenaga kerja dan sumber daya dari satu negara - yaitu, Burma - digunakan untuk membiayai pengembangan industri lain - dalam hal ini, Inggris.
"Perawatan diambil untuk menghindari pelatihan teknis dan industri [di Burma]. Aturan ini, diamati di seluruh India, bertujuan untuk menghentikan India dari menjadi negara industri yang mampu bersaing dengan Inggris."

Peran koloni, kemudian, adalah di bawah pembangunan demi pembangunan penjajah itu. Ini adalah logika kolonialisme.

12 Juli 2014

West Papua pada festival Seni Budaya Melanesia

Papuan Activist
Oleh Jonas Cullwick in Daily Vanuatu

Sebuah delegasi besar dari Papua Barat berpartisipasi dalam Melanesian Festival 5th Seni dan Budaya di Port Moresby, diselenggarakan oleh Papua Nugini, yang di minggu kedua dan akhir pekan ini. Hal ini dikonfirmasi oleh Perdana Menteri Vanuatu Joe Natuman yang berada di Port Moresby untuk menghadiri Melanesian Spearhead Group (MSG) Pemimpin Summit khusus, yang bertepatan dengan pembukaan festival seni dan budaya.

15 Juni 2014

Pemantau PBB Didesak Untuk Diizinkan Masuk Provinsi Papua di Indonesia

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

10 Juni 2014

Menegakan HAM Masa Lalu Untuk Mengembalikan Citra Bangsa

Kasus pelanggaran HAM selalu menjadi perhatian masyarakat. Bahkan semua yang melanggar kebebasan seseorang  dinilai melanggar  HAM. Kondisi ini  mengingatkan  pada mencuatnya isu kebebasan  dan  hak hak  dasar  manusia  yang  pernah  menjadi  ikon kosmologi pada abad ke-18.

Pada masa itu hak-hak dasar tidak hanya dipandang sebagai kewajiban yang harus dihormati penguasa. Tetapi, juga hak yang mutlak dimiliki oleh rakyat. HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh, Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang. Bahkan pada abad 18 muncul kredo (pernyataan kepercayaan) tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal.

27 Maret 2014

Perundingan, Solusi Permanen Atas Konflik Papua

Opini: By Turius Wenda
Photo Ils
Jayapura,-- Terlalu lama, para pihak mengabaikan konflik dan kekerasan di Papua Barat. Para pihak selayaknya duduk bersama untuk menentukan masa depan rakyat dan bangsa Papua. Pembiaran itu, kini hampir 51 tahun. Selama ini koflik berkelanjutan tanpa terkontrol oleh berbagai pihak termasuk oleh pembela hak asasi manusia (HAM) dan pekerja kemanusian lainnya di seluruh dunia.

Apa masalahnya sehingga konflik ini berlanjut? Sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia menjadi akar persoalan yang membawa malapetaka bagi rakyat Papua, kontroversial histori menjadi hal yang utama dalam pertarungan perdebatan untuk mencari kebenaran sejarah sebagai bukti solusi atas konflik Papua.

Konflik politik yang terjadi di Tanah Papua ini telah berdampak pada terjadinya tindak HAM. Hal ini bisa dikategorikan ke dalam kejahatan kemanusiaan. Menurut pandangan saya mungkin perlu diselesaikan melalui sarana demokrasi yang ada, mungkin melalui dialog. Tapi bisa juga ditingkatkan menjadi perundingan atau negosiasi di antara para pihak yang terlibat konflik tersebut.

Pihak-pihak yang dimaksud adalah rakyat Papua yang dalam hal ini juga melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan sayap militer yang sudah klasik terlibat yaitu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB), juga pemerintah Indonesia yang disertai TNI-POLRI.

Perundingan atau negosiasi tersebut jika dapat dilaksanakan, maka diharapkan semua persoalan yang menjadi pergumulan dan bahkan menjadi sumber konflik di antara pihak-pihak berkepentingan tersebut selama ini sedapat mungkin bisa dicari solusi pemecahannya secara damai, dan lebih demokratis.

Diharapkan dengan melakukan perundingan, maka upaya yang selama ini dilakukan dengan mengedepankan anasir-anasir kekerasan dan menimbulkan banyak korban, bahkan kerugian dari segi material dan finansial tidak sedikit pula itu diatasi.

Kita harus manfaatkan secara lebih baik untuk memberi proteksi terutama bagi masyarakat sipil (adat)  Papua yang senantiasa menjadi korban bahkan paling sering dikorbankan akibat konflik berkepanjangan tersebut selama ini.

Bagi saya, alternatif penyelesaian persoalan Papua melalui jalan kekerasan akan menimbulkan korban jiwa, apalagi kekerasan bersenjata yang terjadi selama ini yang melibatkan langsung TNI-POLRI dengan TPN PB/OPM memang harus segera diakhiri. Kita semua mendorong tercapainya upaya penyelesaian masalah Papua melalui jalan damai dan demokratis.

Di mana alternatif paling baik adalah melalui penyelenggaraan perundingan (negosiasai) damai yang dapat dilaksanakan dengan meningkatkan dialog intensif di antara para pihak yang terlibat konflik berkepanjangan di tanah Papua selama hampir 51 tahun terakhir ini.

Demi menemukan solusi permanen, sebaiknya melibatkan pihak netral, seperti United Nationa (UN), atau Negara-negara yang memang layak menetralisir kedua bela pihak yang terlibat dalam konflik Papua.

Keterbukaan dan niat baik para pihak yang terlibat konflik sangat dibutuhkan dalam mencari solusi permanen untuk Papua, tinggalkan slogan NKRI HARGA MATI dan PAPUA HARGA MATI. Harus terbuka demi mencari kebenaran sejarah dan akar konflik di Papua Barat.

Jika semua terbuka, maka solusi atas konflik Papua terbuka pula. Saya yakin jika akar persoalan dibicarakan dalam meja perundingan, maka kebenaran akar persoalan itu akan menjawab solusi atas konflik Papua.
Artikel ini sudah di publikasikan di : Majalah Selangkah

Turius Wenda adalah pemerhati masalah sosial tinggal di  Expo, Anjungan Jayawijaya
e-mail : turiusw@gmail.com

09 Maret 2014

Oceania Interrupted, Dari Bangsa Maori Untuk Perjuangan Bangsa Papua Barat

  
Jayapura, 9/3 (Jubi) – Sebuah aksi intervensi masyarakat Maori di New Zealand untuk mendukung perjuangan Rakyat Papua Barat dilakukan ditengah Festival Pasifika di Auckland.

Aksi yang disebut Oceania Interrupted Action 3 Free Pasifika – Free West Papua ini dilakukan oleh 14 orang perempuan Maori, yakni Marama Davidson, Ruiha Epiha, Talafungani Finau, Leilani Kake, Moe Laga-Fa’aofo, Genevieve Pini, Amiria Puia-Taylor, Leilani Salesa, Luisa Tora, Mele Uhamaka, Asenaca Uluiviti, Leilani Unasa, Julie Wharewera-Mika, Elyssia Wilson-Heti.

Aksi ini, menurut salah satu penampil, dilakukan sebagai intervensi publik dalam Festival Pasifika ini, untuk memberi dukungan bagi perjuangan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri.

“Mulut kami yang ditutup dengan bendera Bintang Kejora adalah simbol pembungkaman di Papua Barat.” kata Marama Davidson, salah satu penampil, kepada Jubi. Minggu  (9/3) melalui sambungan telepon.

Keempatbelas perempuan Maori ini memang menutup mulut mereka dengan Bendera Bintang Kejora ukuran kecil dan mengenakan pakaian adat Maori.

“Kebebasan kami sebagai orang Māori dan perempuan Pasifik di Aotearoa, Selandia Baru terikat dengan saudara-saudara Pacific kami di Papua Barat.” tambah Julie Wharewera-Mika, penampil lainnya.

Menurut Julie dan Marama, tangan mereka yang terikat melambangkan terkekangnya kebebasan rakyat Papua Barat.
 

Dalam aksi ini, para penampil hanya bergerak secara minim dan tanpa suara. Ini untuk melambangkan kurangnya kebebasan berekspresi dari pendapat politik, kurangnya akses ke sumber daya yang adil dan merata, kurangnya akses ke media yang bebas dan independen yang dialami rakyat Papua Barat. Sementara tubuh para perempuan Maori ini dihiasi dengan warna hitam untuk merayakan eksistensi perempuan sekaligus sebagai simbol berkabung

Aksi Oceania Interrupted Action 3 Free Pasifika – Free West dilakukan Sabtu, 8 Maret kemarin di Western Springs Lakeside Park, Auckland. Ribuan orang datang ke Auckland untuk menyaksikan Festival Pasifika yang dipusatkan di Western Springs Lakeside Park. (Jubi/Victor Mambor)
 

09 Januari 2014

Papua Bayang-Bayang Klonialisme

Oleh:Longginus Pekey
Ilustrasi
MENURUT Andre Gunder Frank, pendukung teori kolonialisme, hukum kolonial biasanya menguntungkan negara yang koloni dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan bagi modernisasi dan demokrasi.
 
Bertentangan dengan pendapat di atas, Frantz Fanon peneori ketergantungan, mengemukakan, kolonialisme sebenarnya megarah pada pemindahan kekayaan dari daerah yang koloni ke daerah kolonis yang kesuksesan pengembangan ekonomi. Pendapat Fanon diperkuat  oleh para pengkritik post-kolonialisme yang mengatakan bahwa kolonialisme sangat merusak politik, psikologi, dan moral negara/daerah koloni. 

J. Horge Klor de Alva, membenarkan: dalam praktek kolonialisme ”di banyak tempat, penduduk aslinya, boleh dikatakan hampir-hampir lenyap  setelah kontak, disapu secara fisis oleh penyakit dan perlakuan kejam, dan secara genetik dan sosial, oleh perkawinan campuran. Akhirnya, secara kultural oleh praktik-praktik religius dan politis, sebagaimana telah dialami penduduk hitam di benua Afrika,  Indian di Amerika, Aborigin di Australia, Jawa di Nusantara dan Papua di masa Belanda dan Indonesia saat ini.
 
Pertentangan pendapat di atas itu mau menjelaskan kepada kita mengenai sisi positif dan negatifnya atau baik buruknya kolonialisme. Hal ini perlu kita lihat dari realitas, dari pengalaman sejarah kolonialisme di dunia. Ada orang yang dieksploitasi, dipenjara, dibunuh atau dianiaya.

Penduduk pribumi yang terhegemoni mewarisi budaya, karakter kolonial  karena tidak terhindarkannya asimilasi dan akulturasi. Pendidikan, agama dan, birokrasi menjadi pintu masuk hegemonisasi yang akhirnya merusak karakter dan budaya pribumi, yang dianggap primitif, jorok, kotor oleh “kolonialis.”
Dalam hal ini, mental dan karakter kekerasan yang dulu hanya terjadi di pusat kekuasaan, tak terasa, berpindah dan mengakar di daerah-daerah koloni. Hannah Arendt,  filsuf politik, menyebutnya banalitas kekerasan. 

Dengan cara pandang itu, kita amati, kekerasan struktural, seperti pelayanan publik yang pincang, keputusan dan pelaksanaan undang-undang yang sepihak dan tidak kontekstual. Gelar operasi militer (DOM), pelanggaran hak asasi manusia, menjalarnya suap-menyuap dan korupsi elite penguasa di pusat yang menular ke daerah. 

Hingga saat ini, penerapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sejak 2002 belum signifikan menyelesiakan masalah sosial. Sebagian besar pribumi Papua masih didera kemiskinan.

Rumah-rumah sakit masih langka di daerah permukiman penduduk pribumi, terutama pelosok dan pedalaman. Kalau ada pusat-pusat kesehatan, hampir bisa dipastikan tenaga medis, obat-obatan, dan fasilitas pengobatan sangat minim. Jumlah orang sakit yang tak tertangani cenderung tidak menurun, begitu pula tingkat kematian.

Di daerah-daerah pedalaman, sekolah-sekolah belum menyebar rata. Di satu kabupaten, misalnya, hanya tersedia satu sampai dua SMP dan satu SMA. Itu pun, dengan guru dan fasilitas belajar sangat terbatas. Belum lagi, keberadaan guru di tempat karena bepergian ke kota. Di sekolah yang baik dan lengkap di kota, siswa pribumi kadang sedikit. Mereka banyak mengisi sekolah-sekolah pinggiran yang berkekurangan.

Dalam situasi begini, arus migrasi ke Papua melaju deras. Semua peluang hidup seperti diserobot. Tak terasa, peluang kerja setempat banyak terebut penduduk migran dari luar Papua. Penduduk pribumi dianggap malas, tidak kreatif, tidak ulet.
 
Hasilnya, tampak jelas saat ini, terutama di kota-kota, warga Papua semakin minoritas.  Pusat perbelanjaan, bisnis dan perhotelan  kian menjamur. Warga asli Papua hanya menjadi konsumen dan penonton. Mama-mama penjual masih bernasib seperti sebelumnya: tertimpa panas dan hujan. Mereka dapat berjualan hanya di teras pasar  atau di emperan toko. Kenyataan yang menjungkirbalikkan pasal-pasal Undang-Undang No. 21. 

Tidak cuma peluang kerja di dinas dan instansi pemerintah yang lepas dari tangan para putra-putri Papua, tapi juga swasta. Papua tak ubahnya sebuah daerah koloni.

Oleh:Longginus Pekey, Penulis adalah guru sejarah, SMA Adhi Luhur, Nabire

08 Januari 2014

Masalah Papua Tanggung Jawab PBB

Oleh: Hendrikus A.Ondi
SUHU politik di Tanah Papua kembali memanas sejak Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hilarry Clinton, menyatakan tentang perlunya dialog Pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi  ASEAN dan G-7 di Bali Oktober 2011 lalu.
 
Demikian halnya, pertemuan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dengan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono−walaupun tidak khusus menyinggung persoalan Papua. Toh, publik di Papua yakin, adanya “keprihatinan” Amerika Serikat terhadap situasi politik di Papua. Tampaknya, testimoni delegasi Papua di depan Kongres Amerika Serikat beberapa waktu sebelumnya cukup mengusik senator dan politisi negeri Abang Sam.

Sejarah integrasi Papua dengan Republik Indonesia tidak terlepas dari campur tangan Amerika Serikat. Maka sudah sepatutnya setiap masalah sosial politik di Papua yang mengancam eksistensi  dan hak hidup orang asli Papua menjadi perhatian Amerika Serikat. Soalnya, pemerintah Belanda tampaknya masih besikap “malu-malu” atas status politik bekas koloninya.  Antara membiarkannya tetap menjadi wilayahnya bersama-sama Suriname dan Antilen, berdiri sendiri, atau diserahkan ke Indonesia.

Mengingat sejak Konferensi Meja Bundar tentang penyerahan kedaulatan dari Belanda pada tahun 1948, Indonesia sudah mengklaim Papua. Hanya lantaran pertimbangan ekonomi, terutama menguasai sumber daya alam dan pasaran bagi produk industri serta hegemoni politik di Asia Tenggara, Amerika Serikat menekan Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia.
 
Mengapa masalah Papua (perlu) menjadi subyek yang diamati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)?
 
Pertama, penyerahan Papua (Nederlands Nieuw Guinea) kepada Indonesia dilakukan melalui badan pemerintahan sementara PBB (UNTEA), berdasarkan rancangan Ellsworth Bunker, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Rancangan yang kemudian dikenal dengan Bunkers Plan.
 
Perjuangan di meja perundingan mengenai soal Nieuw Guinea juga dimainkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio dan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns. Sekretaris Jenderal PBB  U Thant mengirim utusan khusus Fernando Ortiz Sanz bersama timnya. Termasuk  Kofi Annan yang, waktu itu, staf  junior yang bekerja untuk pemerintah Ghana di PBB.
 
Bergabungnya Papua dengan Indonesia merupakan bagian dari permufakatan politik Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. Permufakatan yang dilakukan tanpa menanyai orang Papua sebagai subyek bermasalah. Baik melalui Persetujuan New York maupun Persetujuan Roma.
 
Sebagaimana digambarkan sejarawan Belanda Drooglever dalam bukunya Tindakan Pemilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, pemerintah Belanda  tidak sungguh-sungguh, bahkan terlambat menyiapkan Nederlands Nieuw Guinea untuk menjadi negara sendiri. Politik etis yang dicanangkan Van Eechoud dengan mendirikan sekolah Osiba, Batalyon Papua dan Polisi Papua, sebagai prasarana awal guna berpemerintahan sendiri, sudah terlambat.
 
Indonesia yang merundingkan penyerahan kedaulatan dengan Belanda ke tangannya, dalam perjanjian Linggarjati, 1949, sudah mengikrarkan Papua sebagai wilayahnya. Padahal, dalam KMB sudah jelas, wilayah Indonesia merupakan bekas Hindia Belanda minus Nederlands Nieuw Guinea.
 
Selain Van Eechoud, kelompok lain di Belanda malah berpikir mempertahankan Papua, atau memberi status khusus dalam wilayah kerajaan Belanda. Pertimbangan yang tidak menguntungkan dan justru akan menambah beban belaka. Belanda juga mengkhawatirkan nasib warga negaranya di Nieuw Guinea.
 
Apalagi, Presiden Soekarno sudah menyerukan operasi Trikora untuk merebut Irian Barat. Presiden pertama Indonesia ini sudah melancarkan operasi intelijen, perang urat saraf dan agitasi. Juga mendaratkan pasukan pengintai dan penyusup di daerah Kepala Burung dan selatan Papua.
 
Soekarno memanfaatkan betul situasi perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ia menggertak Amerika Serikat dengan mengirim Jenderal A.H. Nasution ke Moskow mencari bantuan senjata dalam rangka operasi Mandala. Dibuat gamang oleh rekannya dari Indonesia itu, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, dengan berat hati, meminta sekutu setianya di Pasifik melepas Nieuw Guinea ke tangan Indonesia.
 
Padahal, sekutu Amerika Serikat lainnya, Australia, telah siap membantu Belanda untuk mempertahankan Papua tetap dalam wilayah mereka. Tidak cuma itu, Nieuw Guinea adalah  wilayah di Pasifik yang sedang diperjuangkan masuk dalam program dekolonisasi. Belanda dan Australia punya kepentingan stabilitas politik, ekonomi dan keamanan bila Nieuw Guinea menjadi negara terpisah−ketimbang bergabung dengan Indonesia yang kelak bisa menjadi ancaman di Pasifik.
 
PBB  bertanggung jawab atas pelaksanaan Act of Choice yang tidak sesuai dengan prinsip one-people-one-vote. Bagi orang Papua, badan dunia ini tidak becus melaksanakan prinsip self determination yang, seharusnya memberikan kepada penduduk pribumi penentuan masa depan, tanpa tekanan dan intimidasi.
 
Lembaga UNTEA yang didirikan untuk melaksanakan proses peralihan Papua pun tidak independen. Administrator sementara PBB ini telah disusupi para infiltran Indonesia yang menyertai pasukan UNTEA, asal Pakistan. Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio, tidak banyak berperan, ketimbang Adam Malik dan Sudjarwo Tjodronegoro, Letnan Kolonel Ali Moertopo dan Mayor Benny Moerdani.
 
Apalagi, Presiden Soekarno telah menyatakan konfrontasi terbuka kepada pemerintah Belanda demi merebut “Irian Barat wilayah Indonesia.” Utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB, Ortiz Sanz yang, bertanggung jawab atas pelaksanaan Act of Choice akhirnya tidak bisa berbuat banyak daripada menuruti skenario Amerika Serikat dan Indonesia.
 
Dalam situasi genting, Amerika Serikat tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi sekutunya, Belanda. Kepentingan politik dan ekonomi ternyata lebih diprioritaskan, ketimbang mengurusi orang Papua yang masih “terbelakang  dan bodoh.”
 
Kini, setiap 1 Desember, ingatan akan proses Act of  Choice, 1969 yang, mengantarkan Nieuw Guinea ke tangan Indonesia muncul kembali. Tak aneh, generasi baru Papua yang bertumbuh di era integrasi terus mempertanyakan status politik Papua. Apalagi, mereka berhadapan dengan kenyataan sumber daya alam di negeri mereka dikuras,  sementara manusianya ditelantarkan tak terurus.
 
Kenyataan yang kontras dengan “pesan” Soekarno pada para sukarelawannya saat Operasi Trikora untuk menjadikan rakyat Irian Barat sebagai “saudaramu, sedulurmu,” yang perlu di-“bina” dan di-“bangun”...”agar kelak mereka sejajar dengan kita di persada pertiwi.”
 
PBB ternyata telah mengangkangi prinsip-prinsipnya sendiri mengenai hak penentuan nasib sendiri yang otentik bagi bangsa-bangsa pribumi yang belum berpemerintahan sendiri. Karena itu, badan ini juga−tak secara langsung−bertanggung jawab atas pengurasan sumber daya alam, kerusakan lingkungan hidup dan budaya Papua saat ini.
 
Setelah Act of Free Choice, apakah Republik Indonesia telah melaksanakan kesepakatan yang telah diatur dalam perjanjian PBB? Bukankah PBB membentuk lembaga keuangannya yang disebut FUNDWI untuk memajukan kondisi sosial ekonomi orang Papua−kemudian diterjemahkan Presiden Soeharto dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) sejak 1969?
 
Kini semuanya dipertanyakan kembali.  Memang ada otonomi khusus bagi Papua sejak 2001. Namun, seperti dimafhumi, pelaksanaannya hanya setengah hati. Banyak dana otonomi khusus dikucurkan dari pusat, tapi kewenangan mengelola daerah tetap dikontrol Jakarta. Pengucuran dana pun diatur oleh pemerintah pusat. Dana-dana itu pun tidak serta merta bisa dipakai membangun Papua; tidak ada unit kerja untuk mensikronkan proyek pusat dan daerah. Tapi rakyat Papua sudah kehilangan kepercayaan. Apa mau dikata?
 
Pernyataan Sekretaris Jenderal PBB, Bang Ki Mon, dalam kunjungannya ke Aukland, Selandia Baru, pada September 2011, tentang perlunya membicarakan masalah Papua di Dewan Hak-Hak Asasi dan Komisi Dekolonisasi Majelis Umum PBB, jelas berdampak politis. Mengingat Selandia Baru merupakan salah satu anggota Forum Negara-negara Pasifik. Negara ini bersama Australia, Vanuatu, Fiji, New Caledonia, Papua Nugini, Samoa Barat dan Nauru ikut mendukung perjuangkan Papua. Bang Ki Mon mesti “melunasi hutang” U Thant kepada orang Papua.
 
Tak heran, Sekretaris Komisi A DPR Papua Julius Migomi, mengingatkan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Papua untuk tidak meremehkan perkembangan politik di Tanah Papua. Atau respon Yan C. Warinussy, pengacara dari Manokwari, tentang belum finalnya status Papua.
 
Inkonsistensi dan intervensi pemerintah pusat dengan membelokan ketentuan daerah yang sudah disepakati DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua, justru semakin memperburuk citra pemerintah Indonesia di mata dunia internasional. Tarik-ulur peraturan daerah khusus pemilihan gubernur yang mempersyaratkan orang asli Papua merupakan bukti intervensi pemerintah pusat terhadap mekanisme legalisasi di daerah.
 
Kasus Hanna Hikoyabi, anggota MRP dari unsur perempuan dari Daerah Pemilihan I Tanah Tabi (Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom) adalah contoh lain. Nama Hanna dicoret Menteri Dalam Negeri  yang terpilih lagi untuk MRPke-II. Alasan menteri: Hanna tidak loyal kepada negara kesatuan republik Indonesia. Padahal, esensi dari kebijakan politik Otonomi Khusus adalah pemberdayaan, perlindungan dan rekonsiliasi.
 
Tindakan Menteri Dalam Negeri menunjukkan, tidak ada pemikiran lain untuk merangkul mereka yang dianggap tidak sejalan sebagai partner potensial bagi kebijakan pemerintah pusat di daerah. Tanpa disadari tindakan seperti ini kian menyurutkan citra pemerintah Yudhoyono. Mengingat Hanna adalah mantan Wakil Ketua II MRP yang terpilih kembali dengan suara mayoritas−mewakili perempuan Tabi−pada periode ke-II MRP.
 
Persoalan Papua mendesak untuk diselesaikan. Pernyataan Presiden Yudhoyono pada November 2011 tentang rencana dialog pemerintah pusat dengan rakyat Papua bisa menjadi media untuk menemukenali persoalan hakiki di Papua dan jalan keluarnya.
 
Pernyataan kepala negara di atas merupakan respons atas pertemuannya dengan para pemimpin gereja di Tanah Papua di Puri Cikeas, Bogor, pada September 2011.  Niat dialog yang disampaikan para pemimpin gereja merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Koperensi Damai Papua yang diselenggarakan Jaringan Damai Papua. Forum yang digagas Neles Tebay dan Muridan S. Widjojo dan rekan-rekan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
 
Dalam perspektif di atas, tepatlah pernyataan Sekretaris Jenderal PBB di Selandia Baru direspons pemerintah Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda yang terlibat dalam proses penggabungan Papua dengan Indonesia. Walaupun, tentu saja,  mekanisme, instrumen dan tata kerja di PBB diatur dalam perjanjian dan traktat internasional. Namun, dalam perjuangan politik, jalan itu masih memungkinkan.

Oleh: Hendrikus A.Ondi, Penulis adalah Sekretaris Departemen Penelitian dan Pengembangan Sinode GKI di Tanah Papua; anggota Jaringan Damai Papua.

Masalah Papua Tanggung Jawab PBB

Oleh: Hendrikus A.Ondi
SUHU politik di Tanah Papua kembali memanas sejak Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hilarry Clinton, menyatakan tentang perlunya dialog Pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi  ASEAN dan G-7 di Bali Oktober 2011 lalu.
 
Demikian halnya, pertemuan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dengan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono−walaupun tidak khusus menyinggung persoalan Papua. Toh, publik di Papua yakin, adanya “keprihatinan” Amerika Serikat terhadap situasi politik di Papua. Tampaknya, testimoni delegasi Papua di depan Kongres Amerika Serikat beberapa waktu sebelumnya cukup mengusik senator dan politisi negeri Abang Sam.

Sejarah integrasi Papua dengan Republik Indonesia tidak terlepas dari campur tangan Amerika Serikat. Maka sudah sepatutnya setiap masalah sosial politik di Papua yang mengancam eksistensi  dan hak hidup orang asli Papua menjadi perhatian Amerika Serikat. Soalnya, pemerintah Belanda tampaknya masih besikap “malu-malu” atas status politik bekas koloninya.  Antara membiarkannya tetap menjadi wilayahnya bersama-sama Suriname dan Antilen, berdiri sendiri, atau diserahkan ke Indonesia.

Mengingat sejak Konferensi Meja Bundar tentang penyerahan kedaulatan dari Belanda pada tahun 1948, Indonesia sudah mengklaim Papua. Hanya lantaran pertimbangan ekonomi, terutama menguasai sumber daya alam dan pasaran bagi produk industri serta hegemoni politik di Asia Tenggara, Amerika Serikat menekan Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia.
 
Mengapa masalah Papua (perlu) menjadi subyek yang diamati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)?
 
Pertama, penyerahan Papua (Nederlands Nieuw Guinea) kepada Indonesia dilakukan melalui badan pemerintahan sementara PBB (UNTEA), berdasarkan rancangan Ellsworth Bunker, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Rancangan yang kemudian dikenal dengan Bunkers Plan.
 
Perjuangan di meja perundingan mengenai soal Nieuw Guinea juga dimainkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio dan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns. Sekretaris Jenderal PBB  U Thant mengirim utusan khusus Fernando Ortiz Sanz bersama timnya. Termasuk  Kofi Annan yang, waktu itu, staf  junior yang bekerja untuk pemerintah Ghana di PBB.
 
Bergabungnya Papua dengan Indonesia merupakan bagian dari permufakatan politik Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. Permufakatan yang dilakukan tanpa menanyai orang Papua sebagai subyek bermasalah. Baik melalui Persetujuan New York maupun Persetujuan Roma.
 
Sebagaimana digambarkan sejarawan Belanda Drooglever dalam bukunya Tindakan Pemilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, pemerintah Belanda  tidak sungguh-sungguh, bahkan terlambat menyiapkan Nederlands Nieuw Guinea untuk menjadi negara sendiri. Politik etis yang dicanangkan Van Eechoud dengan mendirikan sekolah Osiba, Batalyon Papua dan Polisi Papua, sebagai prasarana awal guna berpemerintahan sendiri, sudah terlambat.
 
Indonesia yang merundingkan penyerahan kedaulatan dengan Belanda ke tangannya, dalam perjanjian Linggarjati, 1949, sudah mengikrarkan Papua sebagai wilayahnya. Padahal, dalam KMB sudah jelas, wilayah Indonesia merupakan bekas Hindia Belanda minus Nederlands Nieuw Guinea.
 
Selain Van Eechoud, kelompok lain di Belanda malah berpikir mempertahankan Papua, atau memberi status khusus dalam wilayah kerajaan Belanda. Pertimbangan yang tidak menguntungkan dan justru akan menambah beban belaka. Belanda juga mengkhawatirkan nasib warga negaranya di Nieuw Guinea.
 
Apalagi, Presiden Soekarno sudah menyerukan operasi Trikora untuk merebut Irian Barat. Presiden pertama Indonesia ini sudah melancarkan operasi intelijen, perang urat saraf dan agitasi. Juga mendaratkan pasukan pengintai dan penyusup di daerah Kepala Burung dan selatan Papua.
 
Soekarno memanfaatkan betul situasi perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ia menggertak Amerika Serikat dengan mengirim Jenderal A.H. Nasution ke Moskow mencari bantuan senjata dalam rangka operasi Mandala. Dibuat gamang oleh rekannya dari Indonesia itu, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, dengan berat hati, meminta sekutu setianya di Pasifik melepas Nieuw Guinea ke tangan Indonesia.
 
Padahal, sekutu Amerika Serikat lainnya, Australia, telah siap membantu Belanda untuk mempertahankan Papua tetap dalam wilayah mereka. Tidak cuma itu, Nieuw Guinea adalah  wilayah di Pasifik yang sedang diperjuangkan masuk dalam program dekolonisasi. Belanda dan Australia punya kepentingan stabilitas politik, ekonomi dan keamanan bila Nieuw Guinea menjadi negara terpisah−ketimbang bergabung dengan Indonesia yang kelak bisa menjadi ancaman di Pasifik.
 
PBB  bertanggung jawab atas pelaksanaan Act of Choice yang tidak sesuai dengan prinsip one-people-one-vote. Bagi orang Papua, badan dunia ini tidak becus melaksanakan prinsip self determination yang, seharusnya memberikan kepada penduduk pribumi penentuan masa depan, tanpa tekanan dan intimidasi.
 
Lembaga UNTEA yang didirikan untuk melaksanakan proses peralihan Papua pun tidak independen. Administrator sementara PBB ini telah disusupi para infiltran Indonesia yang menyertai pasukan UNTEA, asal Pakistan. Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio, tidak banyak berperan, ketimbang Adam Malik dan Sudjarwo Tjodronegoro, Letnan Kolonel Ali Moertopo dan Mayor Benny Moerdani.
 
Apalagi, Presiden Soekarno telah menyatakan konfrontasi terbuka kepada pemerintah Belanda demi merebut “Irian Barat wilayah Indonesia.” Utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB, Ortiz Sanz yang, bertanggung jawab atas pelaksanaan Act of Choice akhirnya tidak bisa berbuat banyak daripada menuruti skenario Amerika Serikat dan Indonesia.
 
Dalam situasi genting, Amerika Serikat tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi sekutunya, Belanda. Kepentingan politik dan ekonomi ternyata lebih diprioritaskan, ketimbang mengurusi orang Papua yang masih “terbelakang  dan bodoh.”
 
Kini, setiap 1 Desember, ingatan akan proses Act of  Choice, 1969 yang, mengantarkan Nieuw Guinea ke tangan Indonesia muncul kembali. Tak aneh, generasi baru Papua yang bertumbuh di era integrasi terus mempertanyakan status politik Papua. Apalagi, mereka berhadapan dengan kenyataan sumber daya alam di negeri mereka dikuras,  sementara manusianya ditelantarkan tak terurus.
 
Kenyataan yang kontras dengan “pesan” Soekarno pada para sukarelawannya saat Operasi Trikora untuk menjadikan rakyat Irian Barat sebagai “saudaramu, sedulurmu,” yang perlu di-“bina” dan di-“bangun”...”agar kelak mereka sejajar dengan kita di persada pertiwi.”
 
PBB ternyata telah mengangkangi prinsip-prinsipnya sendiri mengenai hak penentuan nasib sendiri yang otentik bagi bangsa-bangsa pribumi yang belum berpemerintahan sendiri. Karena itu, badan ini juga−tak secara langsung−bertanggung jawab atas pengurasan sumber daya alam, kerusakan lingkungan hidup dan budaya Papua saat ini.
 
Setelah Act of Free Choice, apakah Republik Indonesia telah melaksanakan kesepakatan yang telah diatur dalam perjanjian PBB? Bukankah PBB membentuk lembaga keuangannya yang disebut FUNDWI untuk memajukan kondisi sosial ekonomi orang Papua−kemudian diterjemahkan Presiden Soeharto dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) sejak 1969?
 
Kini semuanya dipertanyakan kembali.  Memang ada otonomi khusus bagi Papua sejak 2001. Namun, seperti dimafhumi, pelaksanaannya hanya setengah hati. Banyak dana otonomi khusus dikucurkan dari pusat, tapi kewenangan mengelola daerah tetap dikontrol Jakarta. Pengucuran dana pun diatur oleh pemerintah pusat. Dana-dana itu pun tidak serta merta bisa dipakai membangun Papua; tidak ada unit kerja untuk mensikronkan proyek pusat dan daerah. Tapi rakyat Papua sudah kehilangan kepercayaan. Apa mau dikata?
 
Pernyataan Sekretaris Jenderal PBB, Bang Ki Mon, dalam kunjungannya ke Aukland, Selandia Baru, pada September 2011, tentang perlunya membicarakan masalah Papua di Dewan Hak-Hak Asasi dan Komisi Dekolonisasi Majelis Umum PBB, jelas berdampak politis. Mengingat Selandia Baru merupakan salah satu anggota Forum Negara-negara Pasifik. Negara ini bersama Australia, Vanuatu, Fiji, New Caledonia, Papua Nugini, Samoa Barat dan Nauru ikut mendukung perjuangkan Papua. Bang Ki Mon mesti “melunasi hutang” U Thant kepada orang Papua.
 
Tak heran, Sekretaris Komisi A DPR Papua Julius Migomi, mengingatkan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Papua untuk tidak meremehkan perkembangan politik di Tanah Papua. Atau respon Yan C. Warinussy, pengacara dari Manokwari, tentang belum finalnya status Papua.
 
Inkonsistensi dan intervensi pemerintah pusat dengan membelokan ketentuan daerah yang sudah disepakati DPR Papua dan Majelis Rakyat Papua, justru semakin memperburuk citra pemerintah Indonesia di mata dunia internasional. Tarik-ulur peraturan daerah khusus pemilihan gubernur yang mempersyaratkan orang asli Papua merupakan bukti intervensi pemerintah pusat terhadap mekanisme legalisasi di daerah.
 
Kasus Hanna Hikoyabi, anggota MRP dari unsur perempuan dari Daerah Pemilihan I Tanah Tabi (Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom) adalah contoh lain. Nama Hanna dicoret Menteri Dalam Negeri  yang terpilih lagi untuk MRPke-II. Alasan menteri: Hanna tidak loyal kepada negara kesatuan republik Indonesia. Padahal, esensi dari kebijakan politik Otonomi Khusus adalah pemberdayaan, perlindungan dan rekonsiliasi.
 
Tindakan Menteri Dalam Negeri menunjukkan, tidak ada pemikiran lain untuk merangkul mereka yang dianggap tidak sejalan sebagai partner potensial bagi kebijakan pemerintah pusat di daerah. Tanpa disadari tindakan seperti ini kian menyurutkan citra pemerintah Yudhoyono. Mengingat Hanna adalah mantan Wakil Ketua II MRP yang terpilih kembali dengan suara mayoritas−mewakili perempuan Tabi−pada periode ke-II MRP.
 
Persoalan Papua mendesak untuk diselesaikan. Pernyataan Presiden Yudhoyono pada November 2011 tentang rencana dialog pemerintah pusat dengan rakyat Papua bisa menjadi media untuk menemukenali persoalan hakiki di Papua dan jalan keluarnya.
 
Pernyataan kepala negara di atas merupakan respons atas pertemuannya dengan para pemimpin gereja di Tanah Papua di Puri Cikeas, Bogor, pada September 2011.  Niat dialog yang disampaikan para pemimpin gereja merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Koperensi Damai Papua yang diselenggarakan Jaringan Damai Papua. Forum yang digagas Neles Tebay dan Muridan S. Widjojo dan rekan-rekan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
 
Dalam perspektif di atas, tepatlah pernyataan Sekretaris Jenderal PBB di Selandia Baru direspons pemerintah Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda yang terlibat dalam proses penggabungan Papua dengan Indonesia. Walaupun, tentu saja,  mekanisme, instrumen dan tata kerja di PBB diatur dalam perjanjian dan traktat internasional. Namun, dalam perjuangan politik, jalan itu masih memungkinkan.

Oleh: Hendrikus A.Ondi, Penulis adalah Sekretaris Departemen Penelitian dan Pengembangan Sinode GKI di Tanah Papua; anggota Jaringan Damai Papua.
More on this category »