Sudah dua bulan, Dua wartawan Perancis ditahan di Papua karena melakukan
peliputan hanya dengan visa turis. Mengapa akses wartawan ke Papua masih
dipersulit? Ada apa dibalik ini?
Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, yang sedang mempersiapkan reportase
untuk stasiun siaran Perancis-Jerman ARTE, ditahan awal Agustus lalu di
Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Mereka disebut-sebut
mewawancarai anggota gerakan separatis, tanpa visa khusus dan akreditasi
untuk melakukan reportase.
Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Maruli Hutagalung menerangkan awal minggu
ini, berkas mereka masih diperiksa. Kejaksaan punya waktu satu minggu
untuk memutuskan apakah kasus itu akan diajukan ke pengadilan.
Tuduhan yang akan diajukan adalah pelanggaran keimigrasian. Selain itu,
keduanya dituduh membantu gerakan separatis melakukan makar.
Jika kedua wartawan itu diajukan ke pengadilan, ini akan menjadi proses
pengadilan yang pertama di Papua terhadap wartawan asing yang dituduh
melakukan peliputan tanpa ijin.
Biasanya, wartawan asing yang ditahan atas kasus pelanggaran keimigrasian diusir ke luar Indonesia tanpa proses pengadilan.
Minta bantuan
Ibu Valentine, Martine Bourrat, sudah datang khusus dari Perancis untuk
minta bantuan agar putrinya dilepaskan dari tahanan. Tapi permohonan itu
ditolak.
Lembaga pers nasional seperti Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) mendesak pemerintah agar mencabut tuduhan bahwa kedua jurnalis
terlibat gerakan separatis dan memulangkan mereka ke negaranya.
Eko Maryadi dari AJI menyatakan, penahanan kedua wartawan itu tidak
sejalan dengan iklim kebebasan pers yang ingin ditegakkan di Indonesia.
Juga dipertanyakan, mengapa Papua tetap menjadi semacam "kawasan
terlarang" untuk diliput media.
Memperlakukan Papua berbeda dari kawasan-kawasan lain di Indonesia,
"hanya memberi kesan bahwa memang ada sesuatu yang salah, yang ingin
ditutup-tutupi oleh pemerintah", ujarnya.
Hari Senin (13/10), aksi yang digelar
Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
di Jayapura dibubarkan paksa oleh polisi, dengan alasan aksi itu tidak
mendapat izin dari Polda Papua. Polisi menyita sejumlah spanduk dan
pamflet yang mendukung pembebasan Thomas Dandois dan Valentine Bourrat.
Aparat Kepolisian Resor Kota Jayapura berhasil menangkap 17 anggota Komite
Nasional Papua Barat (KNPB) saat menggelar unjuk rasa pembebasan dua
jurnalis asing dari Arte TV Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bouratt yang ditahan pihak Imigrasi Jayapura.
ekretaris KNPB Ones Suhuniap dalam rilisnya mengatakan, kepolisian
setempat sengaja tak menerbitkan surat izin aksi demo yang akan
dilakukan KNPB dengan alasan yang mengada-ada demi membungkam ruang
demokrasi di Papua Barat.
"Dalam surat pemberitahuan Polda kepada
kami, polisi menyebutkan bahwa kami tak terdaftar pada Badan Kesbangpol
Provinsi Papua, selaku pembina organisasi masyarakat di lingkungan
Provinsi Papua. Mereka juga melarang aksi ini karena kami selalu
dituding melakukan aksi yang menyuarakan aspirasi
Papua Merdeka," ujar Ones.
Tekanan Pembebasan dua jurnalis Prancis
Harian Australia, The Age,
edisi Kamis, 2 Oktober 2014 melansir, mosi itu terkait dengan
kekhawatiran mereka terhadap dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan
Valentine Bourrat, yang ditangkap di Papua.
Mosi
itu secara terbuka bahkan didukung oleh kantor Menteri Luar Negeri
Julie Bishop. Senat Australia menyebut kebebasan pers di Papua Barat
benar-benar dibatasi. Anggota Senat
dari Partai Hijau, Richard Di Natale, yang mengajukan mosi tersebut.
Dia
menyebut Bishop telah menghubungi dia pada Rabu dan mengatakan
Pemerintah Australia akan mendukung mosi tersebut dengan perubahan
teknis.
LSM Juga Tuntut Pembebasan 2 Jurnalis Asing
Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Indri D.
Saptaningrum menuntut pemerintah membuka akses bantuan sosial untuk
masuk ke Papua. Indri melihat selama ini pemerintah menutup Papua dari
dunia luar.Selain bantuan asing, kata Indri, pemerintah juga mempersulit
akses wartawan dan peneliti.
"Padahal, dengan membuka akses masuk ke
Papua, masyarakat bisa berbaur sehingga lebih terbuka," ucapnya."Pemerintah lebih baik jika membuka ruang dialog dengan masyarakat Papua seperti yang pernah dijanjikan," kata dia.
Bahkan AJI Jayapura, KontraS, HRW telah menminta untuk dua jurnalis asing harus di bebaskan tanpa nyarat."tw"