PM Inggris David Cameron dan Benny Wenda |
Tugas utama perjuangan di internasional saat ini adalah menggalang
solidaritas internasional, mendesak Negara-negara anggota PBB agar membuat mosi
(sikap) di Majelis Umum PBB, selanjutnya Majelis Umum PBB merekomendasikan
Pengadilan Internasional (International Court of Justice) menjelaskan apakah
proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu
sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasional dalam
menyelesaikan masalah Papua Barat atau bila tidak maka masalah Papua Barat
harus Diselesaikan kembali melalui mekanisme internasional.
Untuk menggugat proses yang cacat itu, maka
dibutuhkan tahapan strategis yang secara konsen diperjuangan di tingkat Internasional.
Tahapan itu harus didorong melaui proses politik maupun hukum di tingkat internasional.
Paling tidak ada jalur-jalur strategis yang sedang ditempuh seperti:
Pembentukan dan Peluncuran IPWP dan ILWP
Pertama, IPWP (Internasional Parliamentarians for
West Papua) atau Parkumpulan Parlemen-Parlemen untuk Papua Barat. IPWP
diluncurkan di London 15 Oktober 2008, yang kemudian dideklarasikan pada 1
Desember 2008 di gedung Parlemen Kerajaan Inggris di London, yang diketuai oleh
Andrew Smith, saat ini IPWP telah terbentuk di Vanuatu, PNG, Uni Eropa,
Republik Ceko, schotland dan anggota Parlement negara-negara lain yang secara
pribadi ikut menandatangani untuk menjadi anggota IPWP. Anggota IPWP kini
mencapai 68 orang6.
Kedua, Internasional Lawyers for West Papua
(ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara Internasional untuk Papua Barat.
ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009 dan diketuai oleh Mrs.
Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara Internasional. Anggota
ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang selanjutnya
mendorong ke Majelis Umum PBB dan Internasional Court of Justice (Pengadilan Internasional)
sebagai tempat penyelesaian seluruh proses sejarah yang cacat itu.
Anggota Penuh MSG dan PIF melalui Kawasan Pasific
Selain dua lembaga internasional bagi bangsa
Papua Barat itu, tahapan poloitik yang sudah dan terus dilakukan yaitu melalui
loby politik di kawasan pasifik, seperti:
Pertama, MSG (Melanesian Spearhead Groups) adalah
sebuah group antar Negara-negara Melanesia. Pertemuan MSG biasanya dilakukan
setahun sekali. Dalam pertemuan itu Negara-negara Melanesia membicarakan
isu-isu penting serta kesepakatan kerja antar Negara-negara Melanesia ini.
Sampai sekarang Papua Barat belum masuk kedalam anggota MSG karena terus
diblokade oleh PNG melalui Michael Somare, sekalipun sudah dilakukan berbagai
upaya agar masalah Papua Barat dibicarakan atau paling tidak ada delegasi Papua
Barat untuk ikut MSG. Negara Vanuatu yang mendukung hak penentuan nasip sendiri
bagi bangsa Papua Barat terus berupaya namun kandas terus menerus. Saat ini
upaya terus dilakukan oleh para diplomat Papua Barat di Fiji, PNG, Vanuatu agar
Papua Barat bisa menjadi anggota MSG.
Kedua, PIF (Pasific Islands Forum) atau Forum
Pulau-pulau (negara-negara) pasifik adalah sebuah forum Negara-negara di
wilayah pasifik yang pertemuannya dilakukan setahun sekali. Forum ini
mengagendakan dan membicarakan masalah-masalah atau isu-isu regional (kawasan )
pacific. Sejak Belanda masih berada di Papua Barat, delegasi bangsa Papua Barat
selalu diikutkan dalam forum ini, namun kini Papua Barat sudah tidak sebagai
anggota PIF sejak penjajah Indonesia dan kepentingan kapitalisme mengambil
peran penting dalam memblokade isu-isu Papua Barat. Berbagai upaya terus
didorong agar kemudian ada delegasi Papua Barat atau paling tidak isu Papua
Barat diangkat didalam setiap pertemuan itu.
Dialog atau Perundingan oleh Mediator
Dialog atau perundingan bisa dilakukan tanpa
intervensi dari luar. Dalam proses ini kedua bela pihak yang bertikai bisa
mengambil kemauan bersama untuk dialog. Hasil dialog tidak mengikat dan final.
Tapi juga pihak yang merasa menguntungkannya, bisa menyatakannya sebagai
keputusan yang final. Dalam hasil dialog kedua pihak yang bertikai bisa
menyepakati untuk Penyelesasaiannya masalah status hukum Papua Barat di Mahkama
Internasional, atau bisa saja mengambil keputusan bersama untuk melakukan
referendum secara damai.
Dalam pendekatan Papua Barat, Apakah dialog
dengan Jakarta bisa menghasilkan kesepakatan Jakarta dan Papua Barat untuk
membawa persoalan status politik Papua Barat untuk diselesaikan di Mahkama Internasional
atau referendum? Pertanyaan ini yang harus dijawab.
Indonesia sangat mengerti gelagat politik
Papua Merdeka bila terjadi dialog. Saat ini Jakarta tahu bahwa dialog yang
mempersoalkan status politik pada ujungnya akan menguntungkan orang Papua Barat
yang secara dominan ingin Merdeka, maka Indonesia akan hati-hati dalam
menyikapi wacana dialog. Terlepas dari siapa yang harus jadi mediator.
Bila Indonesia harus menerima dialog, sangat dimungkinkan status politik Papua Barat tidak ikut didialogkan. Barangkali pihak Jakarta akan lebih menerima dialog bila itu membicarakan tentang perbaikan Otonomi Khusus (Review Otsus), isu HAM dan Penegakan Hukum dalam NKRI.
Tapi bila tuntutan Papua Merdeka dibicarakan, maka Indonesia akan punya alasan bahwa Otsus adalah jawaban dari tuntutan Papua merdeka, sehingga bisa saja Tuntutan Papua Merdeka direduksi ke perbaikan Otsus. Hal ini selalu menjadi alasan Jakarta, kalau rakyat demonstrasi tuntut Papua Merdeka atau TPN OPM buat aksi, maka mereka dengan mudah mengatakan “itu karena mereka tidak puas”, “ itu luapan kekecewaan pembanguan”, dan berbagai alasan lainya.
Dialog dengan isu penyelesaian status politik Papua Barat hanya bisa terjadi kalau ada desakan kuat dari rakyat Papua Barat dan pihak Internasional.
Dalam dialog sangat tidak mungkin dibicarakan dan disetujui mengenai penyelesaian masalah Papua Barat melalui solusi referendum. Hal itu kemungkinan bisa terjadi bila Papua Barat dalam kondisi emergency secara fisik seperti Timor Leste saat itu dan lebih utama kuatnya intervensi Internasional. Contoh kasus Sahara Barat, sekalipun disana terjadi krisis kemanusiaan yang krusial akibat pertikaian Sahara Barat yang ingin Merdeka dan Maroko yang masih ingin menjajah, namun pemerintah Maroko tidak ingin menggelar referendum karena khawatir sikap rakyat Sahara Barat yang akan memilih opsi merdeka.
Dalam kondisi itu, dialog atau perundingan justru akan dipakai oleh Jakarta untuk menghalau proses perjuangan di Internasional. Hal yang sama dilakukan Jakarta terhadap GAM di Aceh. Masalah GAM yang pada saat itu sedang memaksa internasional justru direduksi (dipersempit) ke persoalan Tsunami dan korban kemanusiaan yang terjadi, sehingga resolusi dialog di Helsinki tidak banyak menguntungkan bagi perjuangan politik GAM kedepan, yang terjadi adalah solusi Otsus diterima dan rekonsiliasi di Aceh dalam kerangka NKRI menjadi pil pahit yang tidak menguntungkan pihak GAM untuk penentuan nasip sendiri (Kemerdekaan secara politik).
Dari beberapa jalur yang ditempuh diatas,
maka sebenarnya tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketika orang Papua Barat
dan pejuang Papua Barat tidak dapat membaca dan memetahkan solusi-solusi itu
agar dapat memandang solusi itu secara rasional (masuk akal), tanpa saling
menyalahkan antara satu kubu perjuangan dan kubu yang lainya.
Yang rasional adalah perjuangan Papua Merdeka
membutuhkan kekuatan internal Papua Barat dan terutama Internasional yang
saling mendukung. Untuk mendorong perjuangan di tingkat Internasional dengan
strategis, maka strategi Internasional lewat MSG dan PIF harus diperjuangkan
terus menerus, karena bila isu-isu Papua Barat menjadi topik penting dalam
pertemuan-pertemuan regional, maka bukan tidak mungkin persoalan Papua Barat
menjadi isue
Published by: @TuriusWenda
0 komentar:
Posting Komentar