Bollywood : Cermin Kehidupan Atau Dunia Impian? |
Ciri khas jalan cerita film Bollywwod adalah memancing emosi penonton
yang ibaratnya menaiki rollercoaster, naik dan turun amat cepat.
Walaupun penonton tahu, bahwa di akhir cerita, pasti akan adegan "happy
ending" yang ditampilkan, mereka tetap terpukau.
Para pelakon biasanya tampan dan cantik serta mengenakan busana warna
warni yang menari atau menyanyi saat bahagia maupun sedih.
M. Madhaya Prasad profesor perfilman dari Hyderabad menegaskan aspek
dalam film Bollywood ini memicu kontradiksi: "Film-film kami memang
mempengaruhi warga dan masyarakat. Tapi film ini sekaligus menunjukkan
realita, bahwa hal itu samasekali tidak ada kaitannya dengan kehidupan
nyata para penontonnya".
Realitas Keras
Masyarakat India tetap terpisah lewat hierarki yang ketat. Memang
sistem kasta secara resmi sudah dihapus, seiring diberlakukkannya
konstitusi dari tahun 1950. Tapi di kawasan pedesaan sistem kasta yang
diskriminatif itu masih tetap diterapkan.
Masyarakat India pasca tahun 1990-an memang diakui makin toleran dan
terbuka, seiring kemajuan ekonomi dan pendidikan. Tapi perbedaan kelas
tetap eksis. Dalam kisah film, pembatasan di antara dua orang yang
bercinta, dapat dengan mudah diruntuhkan. Tetapi dalam kenyataannya
tidak begitu.
Lebih dari dua pertiga dari 1,2 milyar penduduk
India, sesuai data sensus tahun 2011, bermukim di pedesaan. Sekitar 90
persen perkawinan diatur dan ditentukan oleh keluarga, jadi tidak bebas
berdasar cinta.
Perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda, di mana di India 80
persen warga memeluk agama Hindu dan 16 persen Islam, juga sangat jarang
terjadi. Namun film-film Bollywood seperti "Bombay" (1995), "Gadar" (
2001), "Veer Zaara" (2004) atau "Jodhaa Akhbar" (Akbar, 2008)
menggambarkan terobosan atas tabu ini.
Tidak mengherankan jika bintang film kenamaan Shah Rukh Khan dan Saif
Ali Khan yang beragama Islam, dijadikan idola, karena dalam kehidupan
nyata, mereka menikah dengan wanita beragama Hindu.
Refleksi Impian Warga
Sutradara kenanamaan Kunal Kohli, yang antara lain membuat film
percintaan yang suskes di pasaran "Hum Tum" ( 2004) atau"Fanaa" (2006)
mengatakan, film tidak bisa sejauh itu mengubah tata kemasyarakatan.
Kepada DW ia mengatakan : "Film tidak benar-benar mempengaruhi kehidupan
nyata, walaupun basisnya diambil dari kehidupan nyata."
Penulis terkemuka India, Javed Akhtar menambahkan : "Film Bollywood
memang merefleksikan apa yang terjadi dalam masyarakat. Tapi itu
refleksi keinginan, harapan, nilai dan tradisi. Film India bukan
refleksi realita, melainkan merefleksikan impian masyarakat."
Memang ada film yang menampilkan isu nyata, walau tidak banyak.
Misalnya "Maqbool" (2003 karya Vishal Bhardwaj ), yang memotret tema
mafia di Mumbai. Atau karya Anurag Kashyap's, Black Friday (2004),
terkait serangan bom di Mumbai dan kerusuhan sektarian antara kaum Hindu
dan Muslim.
Artis kenamaan Vidya Balan ("Dirty Picture") menegaskan: "Untuk membuat
film Bollywood yang sukses resepnya hanya tiga macam, yakni hiburan,
hiburan dan hiburan."
Pernyataan ini diamini Ranjini Majumdar dari Universitas Jawaharlal
Nehru di New Delhi. Tapi ia juga memperlunak pernyataan artis terkenal
India itu. "Sinema hanya memiliki satu arti, yakni hiburan. Kita tidak
bisa mengharapkan sutradara menunjukkan realita keras sehari-hari. Ini
bukan tugas film-film komersial", tutur dia.
Kutipan: www.dw.de
0 komentar:
Posting Komentar